Agen Sabung Ayam – Budaya sabung ayam dan UU Pasal 303 tentang perjudian di Indonesia.
Tradisi Tabuh Rah (budaya sabung ayam) di Bali kini menjadi satu polemik yang semakin sulit untuk dijelaskan. Sabung ayam di Bali memiliki dua makna yang sangat bertolak belakang pemaknaanya, yakni sabung ayam yang berarti judi dan sabung ayam yang berarti bagian dari pelaksanaan upacara agama menurut agama Hindu. Oleh sebab itu diperlukan adanya poin-poin khusus dalam menerapkan aturan tentang UU perjudian yang berhubungan dengan sabung ayam.
Seiring maraknya perjudian sabung ayam yang dilakukan masyarakat Indonesia khususnya masyarakat Bali, banyak yang berpikir dapat merubah pandangan masyarakat yang awalnya mengenal makna dari Tabuh Rah menjadi judi sabung ayam Tajen online. Adanya UU no.7 tahun 1974, dan UU KUHP Pasal 303 tentang perjudian di Indonesia, telah merubah dampak pengendalian sosial terhadap budaya tabuh Rah yang bergeser artinya menjadi taruhan sabung ayam ( Tajen ) online. Bagaimanakah pemerintah menetapkan perkembangan budaya Tabuh Rah dalam penerapan UU no.7 tahun 1974 dan pengendalian sosial terhaap fenomena sabung ayam di Bali ini.
Pengamat budaya sabung ayam dalam hal ini menjelaskan bahwa sabung ayam bukan sekedar pertarungan antar ayam jago saja, tetapi didalamnya tersirat makna bahwasanya yang bertarung adalah manusia pemilik ayam jago tersebut, hal ini dikarenakan dalam kesehariannya mereka menghabiskan seluruh waktunya untuk merawat ayam jago kesayangannya yang akan ditarungkan. Biasanya mereka berjongkok dibangsal pertemuan atau disepanjang jalan dengan pinggul dibawah , bahu kedepan , seperti berlutut dan memegang seekor ayam jago, mengapit diantara kedua pahanya, naik turun dengan lembut untuk menguatkan kaki-kakinya, membelai bulu-bulunya sebelum ditarungkan. Seusai pertarungan , pemenangnya akan membawa pulang sang jago untuk dimasak dan dimakan bersama. Bagi yang kalah dalam pertarungan ayam tersebut akan merasa sangat malu dan di mata masyarakat harga dirinya telah jatuh dan terinjak-injak.Hal utama yang dijelaskan disini bahwasanya dalam sabung ayam di Bali intinya bukan terletak dari taruhan atau uang , melainkan tingkat sosial dan harga diri sang pemilik ayam aduan tersebut, karena ayam jantan yang dipakai dalam sabung ayam diibaratkan sebagai pengganti kepribadian sang pemilik ayam. Pertarungan itu hanya akan berlangsung diantara orang orang yang memiliki tingkat sosial yang sejajar dan dekat secara pribadi.
Penerapan Pasal 303 KUHP tentang perjudian di Bali masih sangat sulit , khususnya mengenai sabung ayam yang lebih dicenderungkan sebagai upacara keagamaan daripada sebagai perjudian. Adapun sabung ayam dikatakan sebagai perjudian apabila memenuhi unsur-unsur sebagai berikut ini;
1. Sabung ayam yang dimaksud merupakan suatu permainan. 2. Dalam permainan tersebut ada harapan untuk menang/ adu nasib yang bersifat untung-untungan. 3. Tanpa adanya izin dari pihak yang berwenang. 4. Adanya unsur-unsur taruhan. Dengan adanya unsur-unsur yang disebutkan tadi, diharapkan dapat dibedakan sabung ayam sebagai upacara keagamaan yang memiliki makna yang luhur di Bali dan sabung ayam sebagai ajang perjudian yang tidak di izinkan. Demikianlah sedikit penjelasan antara Budaya Tabuh Rah dan UU perjudian di Indonesia.